SEJARAH SINGKAT PON .PES.A.P.I TEGALREJO
MAGELANG
Saben
nendra sangking wisma
Lelono
leladen sepi
Ngisep
sepuhing supama
Mrih
pana pranaweng kapti
Kepati
amarsudi
Sudaning
hawa lan nepsu
Tanapi
ing ari ratri
Amemangun
karya nak tiyasing sasama
Setiap
waktu, di keluar rumah
Untuk
berkelana di tempat-tempat yang sunyi,
Menimba
pelajaran yang agung
Mencari
ketenangan dengan niat yang tulus,
Dengan
sungguh – sungguh mengendalikan nafsu,
Baik
di waktu siang maupun malam
Dengan
melakukan karya yang membawa kesejahteraan
Sesama
umat manusia.
S
|
yair di atas
merupakan tembang Jawa, sinon. Bertentangan dengan apa yang mungkin orang harapkan,
tembang tersebut tidak digunakan untuk melukiskan perjalanan spiritual seorang
penganut kebatinan atau aliran kepercayaan, sebaliknya digunakan untuk
mengabarkan kehidupan sehari-hari seorang kyai. Saya mencatat tembang tersebut dari
Pak Rasdan seorang pensiunan pegawai Depdikbud ketika melakukan penelitian
lapangan di Tegalrejo, Kota Kecamatan yang terletak di gunung Merbabu, sebelah
barat Jawa Tengah. Di kota kecamatan ini berdiri pesantren besar yang dikenal
dengan Pesantren Tegalrejo.
Pesantren ini didirikan oleh Kyai
Chudlori pada tahun 1944 yang sekarang dengan 1300 orang santri, merupakan
salah satu pesantren terbesar di Jawa Tengah. Dengan maksud untuk memperoleh
pemahaman yang lebih mendalam mengenai sejarah kehidupan Almarhum Kyai Chudlori
(wafat tahun 1977), suatu hari saya mewawancarai Pak Rasdan, salah seorang
teman dekatnya. Pak Rasdan, mantan aktivis Panitia Nasional Indonesia (PNI)
kabupaten Magelang, mengutip tembang diatas untuk menggambarkan kehidupan
sehari-hari almarhum Kyai Chudlori.
Penggunaan tembang jawa untuk
melukiskan kehidupan sehari-hari seorang kyai mungkin membingungkan para
peneliti asing, terutama mereka yang biasa menggambarkan Islam sebagai agama
yang sangat asing, bertentangan atau tidak sesuai dengan kejawen asli 1.
Penggunaan ini mungkin juga membingungkan mereka yang dulu memandang
orang-orang muslim Jawa dengan menggunakan dikotomi santri abangan 2.
Mengapa seorang eks aktivis PNI (yang dianggap partai abangan yang sangat
njawani)
Dalam tulisan ini saya berusaha
memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut dengan mendiskripsikan Pesantren
Tegalrejo dan perkembangannya. Pesantren ini dikenal luas bukan hanya sebagai
sebuah pesantren yang aktivitas utamanya mengajarkan ajaran agama saja, tetapi
juga dipandang penduduk desa sekitarnya sebagai pengayom kebudayaan Jawa
setempat. Posisi seperti itu tidak bisa dipahami secara tepat jika menempatkan
pesantren dan tradisinya sebagai sesuatu yang berlawanan dengan budaya lokal
yang dicap Geertz sebagai abangan.
Gambaran fisik
Pesantren Tegalrejo terletak di
kecamatan Tegalrejo, disisi selatan ujung barat jalur utama yang menghubungkan
Tegalrejo dengan Magelang, 9 km ke barat, dan ke Salatiga 29 km ke arah timur.
Orang asing sekalpun tidak akan kesulitan untuk sampai ke pesantren ini, karena
hampir setiap orang di terminal bus Tidar mengetahui letak pesantren ini.
Dengan membayar empat ratus rupiah bila naik colt tertutup atau dua ratus lima
puluh rupiah bila naik bus dari Magelang, seorang dapat langsung turun tepat di
depan pesanten ini.
Komplek peesantren Tegalrejo menepati tanah seluas dua hekta.Ukuran dan
lokasinya yang setrategis sepanjang jalan raya bgian barat kota membuat
pesantren ini mudah dikenal. Bangunannya dari barat sampai ke timur meliputi
ruang pertemuan yang berukuran 20x12 meter, rumah Kyai yang sekarang, yaitu
Kyai Abdurrahman dan rumah adik laki-lakinya, Muhammad. Bangunan-bangunan
tersebut terbuat dari tembok. Papan nama pesantren yang ditulis dengan huruf
Romawi terpampang jelas di halaman depan ruang pertemuan. Papan itu berdiri di
antara beberapa pohon cemara. Bahkan dari atas bus yang lewat seseorang bisa
membaca papan nama bertuliskan A. P. I
Asrama perguruan Islam, Pondok Pesantren Tegalrejo, Magelang. Kata
pesantren ditulis dengan huruf yang jelas.
Tanah dibelakang merupakan perumahan
penduduk dan ruang pertemuan padat dengan bangunan-bangunan lainnya. Di
tengah-tengah ini berdiri sebuah langgar berukuran kurang lebih 12 x 10 meter.
Langgar ini, disamping digunakan untuk shalat berjama’ah (kecuali shalat dhuhur
hari jum’at), juga kegiatan-kegiatan belajar. Disekeliling langgar terdapat
bangunan-bangunan berlantai dua dengan 92 kamar, tempat tinggal santri.
Masing-masing kamar berukuran 4 x 4 meter. Para penghuni kamar diorganisasi
untuk membentuk Jam’iyyah yang menghimpun 30-40 santri, yang berasal dari
daerah yang sama. Para santri tidak hanya berasal dari kabupaten Magelang,
tetapi juga dari luar. Bahkan 32 dari 1320 santri berasal dari Sumatra.
Kyai Chudlori : Pendiri Pesantren Tegalrejo
Sebagaimana ditunjukkan Dhofier3,
hampir semua pesantren besar di Jawa didirikan oleh keturuna kiai. Dhofier
menunjukkan bagaimana tiga puluh kiai terkenal hampir semuanya pendiri atau
pemimpin pesantren besar di Jawa – mempunyai keturunan dari moyang yang sama,
yaitu Kyai Shihah, pendiri pesantren Tambak Beras, Jawa Timur, tahun 18314.
Hiroko ketika melakukan penelitian di Cipari Jawa Barat5 juga
menemukan bahwa kiai dari beberapa pesantren di daerah ini adalah keturunan
Zaenal Abidin, seorang ulama dan cikal bakal desa. Seorang Antropolog lain,
Baeley mencatat pola yang sama dari Nangoh, Jawa timur. Enam pesantren ini
dibangun oleh kyai-kyai keturunan Kyai Haji Munasan, pendiri pesantren pertama.6
Pesantren Tegalrejo yang didirikan
oleh Kyai Chudlori pada tahun 1944, merupakan pengecualian, karena pendirinya
bukan berasal dari keluarga kyai, tapi dari priyayi. Ayah Kyai Chudlori, Ihsan
seorang penghulu di Tegalrejo dibawah pemerintahan Belanda. Kakeknya, Abdul
Halim, juga seorang penghulu yang menangani administrasi urusan agama di daerah
pedalaman kabupaten Magelang yang meliputi kecamatan Candimulyo, Mertoyudan,
Mungkid dan Tegalrejo. Pada zaman Belanda, seorang penghulu dan keluarganya
dihormati sebagai priyayi7.
Chudlori dilahirkan di Tegalrejo, anak
kedua dari sepuluh bersaudara. Ibunya,Mujirah adalah putri Karto Diwiryo yang
menjadi Lurah di Kali Tengah, dekat kota kecamatan Muntilan. Meskipun seorang
priyayi, ayah Chudlori menginginkan paling tidak satu dai anak-anaknya menjadi
kyai. Kenyataannya bahwa Tegalrejo bukan kota religius, semakin menyakinkan
dirinya untuk berbuat sesuatu bagi para warganya. Abdullah (84), orang tua yang
tinggal dekat pesantren, menceritakan kepada saya bahwa desa – desa sebelah
timir Tegalrejo seperti Soroyudan, Tepus, mBalak, pernah menjadi sarang
bandit-bandit yang terkenal jahat. Perampokan, pencurian, perjudian, dan sabung
ayam tersebar luas.
Pada tahun 1923, setelah menyelesaikan
studinya di HIS (Hollandsch Inlandcsh School) Chudlori dikirim ayahnya belajar
di Pesantren Payaman, sebuah pesantren terkenal di kabupaten Magelang yang diasuh
oleh Kyai Siroj. Disini, Chudlori menghabiskan waktu dua tahun dan menjadi apa
yang digambarkan oleh Dhofier8 – santri kelana yang pindah
dari satu pesantren ke pesantren lainnya, sesuatu yang lazim dalam tradisi
pesantren. Ia berusaha menguasai berbagai cabang ilmu keislaman dimanapun ilmu
itu diajarkan. Pengembaraan seperti ini penting sekali, karena seperti ditulis
Bailey9 “beberapa pesantren mengkhususkan diri dalam ilmu ini dan
beberapa pesantren lainnya mengkhususkan diri dalam ilmu itu.”
Pesantren Koripan diasuh oleh Kyai
Abdan ketika Chudlori belajar disana. Kemudian Chudlori pindah mengaji di
Pesantren Kyai Rohmat di Gragab hingga tahun 1928. Setelah menguasai beberapa
kitab, khususnya kitab Fatchul Qorrib, dia semakin bersemangat dan
antusias sehingga pindah ke pesantren Tebu Ireng Jawa Timur (Pesantren yang paling
terkenal saat itu), yang dipimpin oleh Hadrotusy Syaikh Kiai Hasyim Asy’ari. Di
Tebu Ireng , Chudlori menemukan tanah air spiritualnya. Walaupun selama empat
tahun (Mutharom, Biografi K.H Chudlori,1984: 9-11), Chudlori mempelajari tata
bahasa dan sastra Arab seperti al-jumuriyah, al-Umrithi, ‘Izzi, Maqshud,
Qowaidi I’rab dan al-Fiyah, tapi masih ingin memperluas pengetahuan
agamanya. Pada tahun 1933 pindah ke pesantren Bendo, Pare, Jawa Timur untuk
menjadi santri Kyai Chozin Muhajir. Disini dia mendalami fiqh dan mencurahkan
tenaganya pada tasawuf, dengan menguasai kitab tasawuf terkenal dengan Ihya’
Ulum ad-Din karya Imam Ghazali.
Setelah empat tahun, Chudlori pindah
ke Pesantren Sedayu Jawa Timur untuk mempelajari Qiratul Qur’an, selama
tujuh bulan. Tahun 1937 pindah ke pesantren terakhir, Pesantren Lasem.
Pesantren yang berada di timur laut Jawa Tengah ini diasuh oleh dua orang kiai
terkenal Kiai Haji Ma’shum dan Kiai Haji Baidlowi. Ketika sudah menguasai semua
kitab yang diajarkan, Chudlori sering diminta oleh Kiai Baidlowi untuk mengajar
para santri lainnya. Di pesantren inilah Chudlori menggali bakatnya sebagai
seorang kiai. Meskipun tetap tinggal di sana, Chudlori tidak begitu banyak
balajar, karena harus mengabdi pada kiai agar memperoleh karomah untuk
memastikan bahwa dimasa yang akan datang itu yang diperoleh dari para kiai itu
akan tetap memiliki potensi spiritual dan berkualitas.
Catatan sejarah kehidupan Chudlori
selama belajar di berbagai pesantren (nyantri) penuh dengan
cerita-cerita perjuangannya yang keras, keteguhan, kesalehan dan kezuhudannya.
Misalnya, ketika sedang belajar di pesantren Payaman, 12 km sebelah barat laut
Tegalrejo, sebulan sekali pulang mengambil perbekalan yang dibawa dengan cara
dipanggul. Anak muda yang baru memasuki umur belasan, harus memanggul satu
karung beras dan perbekalan lain di pundaknya, merupakan pekerjaan yang tidak
pantas dan sesuatu yang luar biasa bila dilakukan oleh seorang priyayi.
Rasdan (73), yang mengenal keluarga
Chudlori, menceritakan kepada saya bahwa ketika Chudlori belajar di Tebu Ireng,
ayahnya mengirim uang sebanyak Rp. 750,- perbulan, tetapi Chudlori hanya
menghabiskan Rp.150,- dan mengembalikan sisanya. Chudlori hanya makan singkong
dan minum air yang digunakan untuk merebus singkong tersebut. Dia melakukan ini
dalam rangka riyadlah, amalan yang biasa dilakukan para santri.
Kiai Idris, teman Chudlori ketika
belajar di Tebu Ireng, menuturkan cerita menarik lainnya. Di kamarnya di Tebu
Ireng, Chudlori membuat kotak belajar khusus dari papan tipis dan menempatkan
kotak tersebut diantara loteng dan atap. Kapan saja bila ingin menghafal atau
memahami pelajarannya, Chudlori naik dan duduk di atas kotak sehingga bisa
berkonsentrasi dengan baik. Kotak ini sempit, tidak nyaman dan berbahaya untuk
duduk. Dus, dengan kedisiplinan dia dapat belajar setiap hari hingga tengah
malam. Kapan saja tertidur sebelum tengah malam, dia menghukum dirinya sendiri
dengan berpuasa pada hari berikutnya tanpa makan sahur (Mutharom, Biografi K.H
Chudlori,1984: 9).
Setelah membaca kitab Imam Al-Ghazali,
dia berusaha dengan sungguh-sungguh mempraktekkan ajaran tasawuf. Kehidupan
sehari-harinya penuh amalan tasawuf, termasuk berbagai macam bentuk puasa,
salat tengah malam, membaca Al-Qur’an dan dzikir. Ketika Chudlori masih belajar
di Pesantren Bendo, seorang kiai yang sangat terkemuka di daerah Magelang,
yakni Kiai Dalhar, pimpinan pesantren Watu Congol menawari Chudlori untuk
menikahi putrinya. Namun pada tahun 1937 baru saja pindah dari Pesantren Bendo
ke Pesantren Lasem, ayahnya, Ihsan meninggal dunia sehingga pernikahannya
ditunda. Dua tahun kemudian, ketika keluarganya diminta Kiai Dalhar untuk
melaksanakan akad nikah, Chudlori pergi dari Lasem tanpa sepengetahuan
keluarganya. Seorang kerabat yang tinggal di Surabaya menemukan Chudlori sedang
menjalani uzlah di makam ‘keramat’ Batu Ampar, di Pulau Madura. Dia
menghabiskan waktu hampir dua tahun untuk menjalankan praktek mistik di kuburan
keramat ini. Di sana dia dijemput oleh keluarganya dan tahun 1940 akhirnya
Chudlori mengakhiri status lajangnya dengan menikahi putri Kiai Dalhar.
Pesantren Tegalrejo dan Perkembangannya
Setelah pernikahannya, Chudlori
diminta mertuanya tinggal dan mengajar di pesantren Watu Congol, Muntilan, 22
km barat daya Tegalrejo. Sebagai menantu seorang kiai terkenal dan seorang kiai
muda di pesantren terkenal, Chudlori mulai menempati posisi yang relatif
tinggi, khususnya dalam konteks dunia pesantren sendiri di desa kelahirannya,
Tegalrejo.
Keinginan ini bukan hanya didasarkan
pada pertimbangan rasional semata. Sebelum membuat keputusan yang terakhir, ia
melakukan mujahadah setiap malam Jum’at di makan keramat Raden Santri, yang
terletak di puncak bukit Gunung Pring, 2 km sebelah selatan Watu Congol agar
memperoleh petunjuk spiritual dan restu Allah. Setelah melakukan mujahadah
setiap minggu selama setahun, pada hari Jum’at dini hari, sekitar pukul 03.00
tahun 1943, ia merasa menerima petunjuk yang jelas bahwa keinginannya direstui
Allah. Malam itu, ketika peziarah yang mengunjungi makam ‘keramat’ itu sudah
pulang, dan Hasyim, santri yang menemani Chudlori sudah tertidur, suara
menggelegar yang tidak disangka-sangka muncul dari dalam makam. Badan Chudlori
gemetar dan sekujur tubuhnya basah oleh keringat. Tapi hatinya tetap tenang.
Chudlori menafsirkan kejadian ini sebagai petunjuk Tuhan bahwa niatnya untuk
mendirikan pesantren baru Tegalrejo direstui.
Chudlori membangunkan Hasyim untuk
diajak pulang. Di tengah perjalanan dia menceritakan kepada Hasyim apa yang
baru saja dialaminya dan meminta Hasyim untuk menyampaikan maksunya
melaksanakan iqamah (keinginan mulai mengelola pesantrennya sendiri) pada
mertuanya. Kiai Dalhar merestui rencana tersebut. Pada tanggal 15 September
1944 Chudlori kembali ke desanya, Tegalrejo dan pada hari itu juga pesantren
Tegalrejo secara formal didirikan.
Beberapa keluarga Muslim di desa
sekitarnya mendengar kembalinya Chudlori dan mengirimkan anak laki-laki mereka
untuk menjadi santrinya. Pada awalnya ada 8 santri di Pesantren Tegalrejo yaitu
Hasyim, Muhasyim, Idris Tarui, Muhiyat, Abdullah, Fachrurozi, Muhammad Barin
dan Syiraj. Semuanya berasal dari desa-desa terdekat. Kini Chudlori terkenal
dengan kiai baru. Pesantren tersebut juga menarik dukungan dari orang-orang
Islam yang kaya. Diantara mereka adalah Haji Dahlan dari Magelang yang
membangun bangunan pesantren ini.
Pada tahun 1947, Belanda melancarkan
agresi militer pertama yang kemudian diikuti dengan agresi militer kedua tahun
1948 (M.Cricklefe, 1987:213-218). Tegalrejo sebagaimana daerah lainnya, menjadi
benteng pejuang gerilyawan Indonesia. Kiai Chudlori memberikan izin terhadap
sebagian dari santrinya untuk terlibat dalam perang gerilya.
Aktivitas-aktivitas rutin pesantren terhenti, dan bangunan pesantren dibongkar
oleh Belanda untuk dijadikan barak di Pakis, 4 km sebelah timur Tegalrejo.
Rumah kiai dirampas untuk markas militer Belanda di daerah ini. Kiai Chudlori
dan keluarganya harus melarikan diri, pindah dari satu desa ke desa lainnya di
pedalaman.
Saat kepergian Kiai Chudlori dari
Tegalrejo ini disebut masa fatroh (vakum). Para sesepuh desa Soroyudan,
seperti Karto Peni dan Sastromiharjo masih ingat bahwa pada masa ini Kiai
Chudlori sering berziarah ke makam Kiai Abu Yamin di Tejo, dan makam Kiai Abdul
Mu’in di desa Sekembeng. Kiai Chudlori juga meluangkan waktunya untuk
mendakwahi para pemimpin penjahat. Parto Tepus dari Desa Surodadi, seorang bandit
yang paling terkenal jahatnya waktu itu diajak masuk Islam oleh Kiai Chudlori
dan akhirnya menjadi salah seorang pengikutnya yang paling setia. Dengan penuh
rasa penyesalan, Parto Tepus yang kini sudah berusia delapan puluhan tahun
bercerita pada saya:
Hingga tahun
1949, saya adalah pemimpin bandit yang sangat terkenal jahatnya. Saya melakukan
semua bentuk kejahatan dan kriminalitas seperti perjudian, perampokan, pemerasan
dan bermain perempuan. Karena kemasyhuran saya sebagai seorang yang kebal
(jadug) membuat orang takut kepada saya. Jika saya menginginkan uang, sering
kali saya hanya memerintahkan orang yang akan menjadi korban untuk meninggalkan
sejumlah uang pada waktu dan tempat yang sudah ditentukan dan mereka melakukan.
Pada saat itu barangkali saya adalah manusia yang paling jahat di dunia. Pada
suatu hari ditahun 1949, saya ditimpa musibah. Saya mengalami sakit yang parah.
Saya berobat ke beberapa dokter di Magelang. Saya juga berobat dengan banyak
dukun, tetapi tidak sembuh. Selama berbulan-bulan saya hanya berbaring di
tempat tidur. Sungguh tidak disangka-sangka suatu hari Kiai Chudlori, dengan
ditemani dua santrinya menjenguk saya. Setelah berbicara sejenak dengan saya
dan istri saya, beliau minta segelas air dan kemudian melafalkan doa di gelas
tersebut. Sembari menyuruh saya minum, beliau berkata: “Sesungguhnya Anda tidak
sakit, ini tidak lain hanya kehendak Tuhan untuk mengurangi dosa anda!” Saya
benar-benar terpesona dengan kata-kata kiai itu sehingga saya bertanya pada
beliau: mungkinkah orang seburuk saya bisa bertaubat?” Kiai menjawab “Pintu
kemurahan dan belas kasih Tuhan jauh lebih besar dari dosa anda!” Mendengar
jawaban semacam itu secara spontan saya menangis, tindakan yang tidak pernah
saya alami dan lakukan sebelumnya. Pada saat itu pula saya mengatakan harapan
saya untuk bertaubat dan menjadi seorang Muslim. Disaksikan oleh istri dan dua
orang santri, Kiai Chudlori menuntun saya mengucapkan dua kalimah syahadat.
Mulai saat itu saya mengakhiri kelakuan jahat dan menjadi pengikut Kiai
Chudlori agar menjadi seorang Muslim yang saleh.
Pada akhir tahun 1949, Tegalrejo
dalam keadaan lebih aman sebagai akibat hasil goncatan senjata dengan Belanda.
Pengalihan kedaulatan kepada Indonesia, termasuk Irian Jaya berlangsung pada
tanggal 27 Desember 1949 ((M.Cricklefe, 1987:220). Kiai Chudlori keluar dari
persembunyian dan mulai mengaktifkan dan membangun kembali pesantrennya. Namun
beliau tertimpa musibah. Kurang dari satu tahun setelah bertemu dengan keluarga
dan para santri, ibunya meninggal. Beberapa bulan kemudian, Abdullah, salah
seorang santri kesayangannya juga meninggal. Masih di penghujung tahun 1951,
istrinya juga meninggal. Oleh karena itu, baru pada tahun 1952 Kiai Chudlori
dapat berkonsentrasi pada pekerjaanya. Pada tahun ini Kiai Chudlori menikah
untuk kedua kali dengan Nur Halimah atas saran mantan mertuanya. Menurut Kiai
Yasin (62), salah seorang alumni Pesantren Tegalrejo, yang sekarang memimpin pesantrennya
sendiri, tantangan yang paling berat yang dialami waktu itu adalah kurangnya
keuangan dan sumber daya. Meskipun ayahnya seorang pengulu, Kiai Chudlori
bukanlah orang yang kaya. Dia hanya mendapat warisan rumah dan tanah yang
digunakan untuk pesantren. Kiai Yasin menceritakan kepada saya betapa miskinnya
Kiai Chudlori pada masa-masa awal perjuangan membangun kembali pesantrennya.
Suatu hari, kata Kiai Yasin, Kiai Chudlori pernah minta saya meminjaminya
beberapa kilogram beras. Menyadari betapa miskinnya Kiai Chudlori, sejak itu
keluarga Yasin memberikan sumbangan beras secara kontinyu.
Yasin juga ingat bagaimana Kiai
Chudlori melakukan apa saja yang bisa mengatasi persoalan keuangan. Bahkan ia
pernah berusaha beternak ayam dan itik, dan menyuruh para santri mengamalkan salawat
idrok. Usaha tersebut berhasil sehingga beberapa bulan berikutnya dapat
membeli domba dan tidak lebih dari dua tahun mampu membeli beberapa ekor sapi.
Kiai Chudlori memerah sendiri susu sapi dan dijual kepada santrinya. Untuk
mengenang saat miskinnya, Kiai Chudlori memberi nama anaknya yang ketiga, yang
dilahirkan saat itu, Mudrik, yang berarti setiap orang yang mengamalkan salawat
idrok. Bahkan saat itu, salawat idrok merupakan salah satu dari doa-doa harian
yang ditawarkan pada santri di Tegalrejo.
Cerita-cerita kesengsaraan dan
akhirnya keberhasilan Kiai Chudlori itu mengangkat reputasi beliau sebagai
seorang kiai. Cerita-cerita tentang kekuatan spiritualnya semakin meluas.
Beberapa tempat di Tegalrejo yang sampai sekarang masih diyakini sebagai tempat
yang dihuni hantu menjadi aman lantaran amalan spiritualnya. Perpindahan agama
Parto Tepus juga memperkuat dan memperluas pengaruhnya. Akibatnya, pesantren
juga cepat berkembang. Bantuan materiil dan keuangan untuk membangun dan
memperluas pesantren mengalir dari desa-desa di sekitar Tegalrejo. Pada tahun
1954, jumlah santri meningkat lebih dari 400 orang.
Setelah Indonesia merdeka
partai-partai politik saling bersaing memperoleh dukungan untuk memenangkan
pemilihan umum tahun 1955. Pada saat itu pesantren terlibat aktif dalam
kampanye politik dengan memberikan dukungan yang luas kepada Nahdlatul Ulama
(Maarif, 1988:37-38). Pesantren Tegalrejo dengan kepemimpinan Kiai Chudlori
tetap menjaga kenetralannya. Meskipun Kiai Chudlori berafiliasi dengan NU,
tetapi tetap melarang aktivitas politik dalam pesantren, melarang penempelan
simbol-simbol dan poster partai politik di tembok-tembok bangunan pesantren.
Rahmat (46), seorang alumni pesantren Tegalrejo yang sekarang menjadi kepala Kantor
Urusan agama (KUA) Tegalrejo, menceritakan pada saya bahwa kebijakan Kiai
Chudlori seperti itu disebabkan ingin menjadi seorang kiai untuk semua
kelompok. Ketika ditanya, Kiai Chudlori menjawab: “Jika saya memasang simbol NU
di sini, apakah saudara yakin bahwa dukungan anggota partai-partai politik
lainnya terhadap pesantren ini tidak akan berkurang?”.
Setelah pemilihan umum tahun
1955, Kiai Chudlori beberapa kali diminta oleh para pemimpin NU untuk duduk di
Parlemen (DPR) baik di tingkat pusat maupun di wilayah sebagai wakil dari NU,
tetapi ditolak dan lebih senang meneruskan hidup di Tegalrejo sebagai kiai.
Kiai Chudlori pernah mengatakan pada koleganya, Rasdan, bahwa dia lebih senang
memilih posisi yang tinggi dalam pandangan Allah daripada dalam pandangan
manusia. Dia juga menunjukkan betapa banyak pesantren yang mengalami kemunduran
gara-gara kiainya terlalu aktif terlibat dalam politik. Sikap politiknya yang
netral itu membuat dihormati semua orang tanpa memandang afiliasi politik
mereka. Tampaknya Kiai Chudlori benar-benar menyadari bahwa ketelibatannya
aktif dalam partai politik bisa merugikan tujuan utamanya dalam menyebarkan
agama kepada seluruh masyarakat.
Kurikulum kajian keagamaan yang
diajarkan di Pesantren Tegalrejo membutuhkan waktu 7 tahun. Ajaran dan
amalan-amalan tasawuf dulu dan sampai sekarang merupakan bagian inti kurikulum.
Bahkan Kiai Chudlori menyebut tingkat yang paling tinggi (tingkat tujuh) dengan
ihya’, meminjam judul kitab tasawuf terkenal, ihya’ ‘Ulum ad-Din. Karena
amalan-amalan tasawuf mewarnai kehidupan sehari-hari Pesantren Tegalrejo, maka
pesantren ini terkenal sebagai pesantren tasawuf. Karena popularitas ini,
Pesantren Tegalrejo dipilih sebagai tempat penyelenggaraan Muktamar Nasional
Tarikat Mu’tabarah pada tanggal 12 sampai 13 Oktober 1957. Beribu-ribu pemimpin
tarekat seluruh penjuru Indonesia terlibat secara aktif dalam muktamar
tersebut. Hasilnyam, setelah pelaksanaan muktamar itu, jumlah santri Tegalrejo
meningkat dari 500 menjadi lebih dari 1200 orang. Pesantren Tegalrejo menjadi
salah satu pesantren terbesar dari 830 pesantren yang ada di Jawa Tengah.
Reputasi keilmuan dan pengaruh
Pesantren Tegalrejo di Jawa juga memperkuat pengaruhnya di kalangan para petani
di desa-desa sekelilingnya. Untuk melayani kebutuhan spiritual para petani
setempat, pada tahun 1957 Kiai Chudlori mengadakan kegiatan rutin yang disebut
Pengajian Senenan, yaitu pengajian yang diselenggarakan setiap senin pagi di
Masjid Tegalrejo. Kiai Chudlori memilih hari senin untuk membedakan pengajian
dengan kegiatan para pegawai negeri yang hanya pada hari Minggu sebagai hari
liburnya. Dengan demikian, Pengajian Senenan dengan sengaja ditujukan untuk
orang-orang desa. Beratus-ratus, bahkan beribu-ribu jama’ah warga desa duduk di
sermabi masjid Tegalrejo untuk mengikuti Pengajian Senenan sebagai bukti nyata
bahwa tradisi pesantren berjalan terus dan didukung oleh masyarakat perdesaan.
Pada tahun 1960-an ketegangan
politik di Indonesia meningkat, sebagian karena kebijakan “revolusi belum
selesai” dari Sukarno. Selama periode ini, Kiai Chudlori terus mendorong
netralitas politik dengan melarang para santri untuk mengikuti pawai yang
diselenggarakan partai. Keteguhan mempertahankan netralitas politik ini terus
berlanjut hingga era ‘OrdeBaru’.
Pada paruh kedua tahun 1960-an,
Pesantren Tegalrejo telah menghasilkan banyak alumni. Setahun sekali mereka
kembali ke pesantren untuk mengikuti acara khataman yang diadakan pada bulan
ruwah. Terkesan dengan kedatangan secara teratur sejumlah alumni yang semakin
meningkat, Kiai Chudlori menyelenggarakan pertemuan yang jauh lebih teratur
bagi para alumni. Seperti majelis Muqimin, yang dilaksankan setiap 35 hari
sekali pada malam Ahad Kliwon, pertemuan rutin ini dimaksudkan agar dapat
mempertahankan silaturahmi antara pesantren dan para alumninya, yang sebagian
diantaranya ada yang sudah mendirikan pesantren sendiri.
Pertemuan-pertemuan ini juga
menarik perhatian para ustadz dari luar. Untuk memperkuat kesatuan dan
solidaritas (ukhuwah) para ustadz pesantren, pada tanggal 21 November 1972,
Kiai Chudlori dengan didukung oleh para pemimpin pesantren yang lain membentuk
Persatuan Pengasuh Pondok Pesantren se Karesidenan Kedu (P4SK). Meskipun tidak
semua pesantren di karesidenan ini bergabung, namun fatwa bahwa P4SK mempunyai
cabang di lima kabupaten (Magelang, Kebumen, Purworejo, Temanggung, Wonosobo)
menunjukkan bahwa pesantren Tegalrejo mempunyai pengaruh yang besar di dunia
pesantren.
Dengan maksud untuk meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam pembangunan, pada tahun 1970-an pemerintahan Orde
Baru memberikan perhatian kepada pesantren. Pada awal tahun 1974, Menteri
Agama, Prof. Dr. Mukti Ali mengunjungi pesantren Tegalrejo dan antara lain
menawarkan bantuan keuangan. Seperti diceritakan Pak Busro, salah satu alumni
pesantren Tegalrejo yang menjadi Kepala Kantor Urusan Agama Candimulyo, Kiai
Chudlori menolak secara halus, dengan mengatakan bahwa masih banyak pesantren
lain yang membutuhkan bantuan. Sikap semacam ini sering dianggap, terutama oleh
pejabat pemerintah (Hal ini dikatakan oleh Kepala Kantor Departemen Urusan
Agama Kabupaten dan kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Tegalrejo kepada saya)
sebagai sikap pembangkangan dengan menolak usaha-usaha pembangunan pemerintah.
Namun masyarakat di Pesantren Tegalrejo sendiri memandang sikap semacam ini
tidak lebih dari wujud upaya yang tidak
pernah berakhir untuk menggembirakan kemandirian yang begitu penting dalam
tradisi santri. Dalam bahasa Kiai Abdurrahman, anak pertama Kiai Chudlori dan
sekarang menjadi pengasuh, Kiai Chudlori menolak uang bantuan pemerintah
merupakan wujud keinginannya menerapkan dan menanamkan nilai keikhlasan
(ketulusan) yang sangat penting dalam ajaran tasawuf. Hal ini juga dimaksudkan
untuk mencegah kemungkinan intervensi pemerintah yang akan mengurangi tingkat kemandirian
pesantren.
Setelah sakit parah, Kiai
Chudlori wafat pada tanggal 28 Agustus 1977. Beliau meninggalkan surat warisan
tertulis yang disampaikan kepada Kiai Ibrahim, Ketua P4SK dan pimpinan
pesantren Jawar, Wonosobo, Kiai Ubaidah, salah seorang pegawai Kantor
Pengadilan Agama, Kiai Muslih, pimpinan Pesantren Salam Kanci dan wakil ketua
DPRD Kabupaten Magelang, dan Abdurrahman, putra pertamanya yang telah dikader
untuk menggantikannya. Dokumen tersebut berisi pesan-pesan berikut ini:
Kedamaian, rahmat dan karunia
Allah semoga senantiasa bersamamu. Segala puji hanya kepunyaan Allah, yang
memberikan kehidupan dan menciptakan
kematian. Kemurahan dari berkah untuk utusan terpilih, keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti kebenaran
dan menepati janjinya. Perkenankanlah kami mengajak saudara untuk bertakwa
kepada Allah. Sesungguhnya, taqwa kepada Allah merupakan inti dari watak yang terpuji. Hai
anak-anakku Kiai Ibrahim, ubaidah, Radi Muslih, Abdurrahman dan yang lainnya!
Yakinlah bahwa kamu semua akan merasakan lebih berat untuk melanjutkan
perjuangan P4SK dan Majelis Muqimien, karena aku sendiri merasakan seperti itu.
Perjuangan kita seharusnya mampu menjadi
lokomotif. Ini berarti mendorong para orang tua dan menarik kalangan
muda. Meskipun usaha ini berat, perjuangan yang terus menerus
dilakukan, disertai dengan memohon bantuan Allah secara terus-menerus P4SK
harus mampu memperkuat Majelis Muqimien. Begitu juga Majelis Muqimien harus
mampu memperkuat kesatuan di kalangan pesantren. Meskipun perjuangan ini berat,
tapi harus dilakukan karena pesantren merupakan instrumen yang Islami dan pasti
menumbuhkembangkan kemuliaan Islam. Jika pesantren lenyap, Islam akan habis.
Inilah wasiatku. Chudlori.
Wasiat Kiai Chudlori untuk para
santrinya sebagai berikut: Untuk semua
santri yang tulus, perkenankan aku meminta bantuanmu. Pertama, bagi santri yang
sudah selesai belajar membaca Al-Qur’an, aku minta masing-masing
kamu mengkhatamkan al-Qur’an disekat pusaraku paling tidak sekali, jika lebih
dari sekali, aku sangat berteri makasih. Insya Allah,
Allah akan memberikan ilmu yang bermanfaat kepadamu. Kedua, bagi para santri
yang masih belajar membaca al-Qur’an, aku meminta masing-masing kamu untuk
menyenandungkan dzikir sebanyak 70.000 kali. Ketiga, setelah tamat belajar di
pesantren ini kamu harus mengajarkan agama kepada masyarakat semampumu. Inilah
wasiatku. Chudlori.
Abdurrahman (lahir 1942) bersama
adik laki-lakinya, Muhammad (lahir 1946) yang menjadi asistennya mewarisi kompleks
pesantren dan lebih dari 1.200 orang santri ari ayahnya serta tradisi pesantren
Tegalrejo yakni pandangan Islam tasawuf, etos kemandirian, jalinan yang kuat
dengan para alumni yang sekarang mempunyai lebih dari 50 pesantren dari
desa-desa yang dipelihara melalui tradisi Pengajian Senenan. Makam Kiai
Chudlori yang hanya 200 meter sebelah utara kompleks pesantren sudah menjadi
tempat ziarah yang populer bagi para warga desa.
Abdurrahman (sebelum dipanggil
Gus saja) kini dikenal sebagai Kiai Abdurrahman. Dia sering menyatakan kepada
para santri bahwa yang menjadi kiai di Pesantren Tegalrejo, masih ayahnya, Kiai
Chudlori. Sementara dirinya sendiri hanya seorang ayahnya. Kendatipun
pernyataan ini dimaksudkan untuk menunjukkan kerendahan hati, pernyataan ini ditafsirkan
berbeda oleh orang lain di kalangan para santri dan penduduk desa masih ada
keyakinan bahwa Kiai Chudlori dan putra-putranya masih melakukan komunikasi
secara terus-menerus, khususnya Kiai Abdurrahman dan Muhammad. Hal ini bisa
dipahami, karena menurut para ulama tradisional, kontak anatara orang yang
sudah meninggal dengan yang masih hidup bukanlah hal yang mustahil, terutama
bila keduanya adalah orang yang saleh.
Kiai Abdurrahman benar-benar
menyadari keberhasilan ayahnya oleh karena itu, dia berusaha melestarikan semua
aktivitas yang dulunya telah dilaksanakan oleh ayahnya, dan menjaga pesantren
supaya tidak berubah. Ketika seorang wartawan bertanya mengenai kemungkinan
penyesuaian kurikulum pesantren dengan kebutuhan era sekarang dan mengarahkannya
sejalan dengan pesantren lain, Kiai Abdurrahman menjawab: “Walaupun banyak
sekolah sekuler dan pesantren lain, saya yakin sistem pesantren Tegalrejo akan
terus dibutuhkan” (Pesantren, 1985:40-42). Kemudian beliau menunjukkan
kenyataan bahwa meskipun diakui ada penurunan keinginan masyarakat untuk
memasukkan anaknya di Pesantren Tegalrejo, sekarang ada sekitar 1.500 santri
(saya mencatat jumlah sesungguhnya Maret 1986 adalah 1.300 santri). Kiai
Abdurrahman mengatakan kepada para orangtua dan santri baru bahwa pesantrennya
menggunakan model salaf. Kabarnya orang tua santri biasanya menjawab “Model
pendidikan inilah yang kami cari!” Pesantren Tegalrejo terus menerapkan hampir
seluruh ajaran dan praktek pendirinya, Kiai Chudlori. Dengan melakukan itu, Pesantren
Tegalrejo tetap mempertahankan popularitasnya, khususnya dalam ajaran dunia
pesantren.
Pesantren Tegalrejo di Bawah Kepemimpinan Baru
Almarhum Kiai
Chudlori menjalankan Pesantren Tegalrejo sendirian, mengajar para santri dan
imam salat lima waktu, menyelenggarakan mujahadah, menyampaikan pengajian
seminggu sekali, menerima tamu, memberikan petunjuk dan amalan spiritual bagi
orang-orang yang memintanya, dan sebagainya. Sebaliknya, kepemimpinan Kiai
Abdurrahman tidak seluas itu. Dia berbagi tugas dan oleh karena itu berbagi
pula pengaruh dengan adik-lakinya, Muhammad. Ini disebabkan keterlibatan Kiai
Abdurrahman dalam pengajian-pengajian dengan warga desa disekitarnya dan
keterlibatan aktif dalam kepemimpinan NU tingkat Kabupaten.
Meskipun Kiai Chudlori juga
aktif memberikan pengajian pada warga desasekitarnya, tapi hanya setiap hari
senin. Dia mengalihkan semua permohonan pengajian dari warga desa di luar
Tegalrejo kepada kiai lainnya atau kepada mantan santrinya, seperti Kiai Thoyib
dari Sidorejo atau Kiai Munir dari Tegal Randu. Kiai Chudlori mencurahkan waktu
dan tenaga untuk kemajuan pesantrennya sendiri. Dengan alasan yang sama ia juga
menilak untuk terlibat aktif dalam kepemimpinan NU. Dengan mempercayakan
pengajian agama untuk masyarakat umum kepada santrinya sendiri, telah
memperluas pengaruh Pesantren Tegalrejo di kalangan santri dan masyarakat
sekitar tanpa beliau harus terlibat langsung.
Rasdan, salah seorang sahabat
karib Kiai Chudlori, bercerita pada saya bahwa dia pernah bertanya kepada kiai
mengapa tidak berkenan terlibat sepenuhnya dalam pengajian. Kiai Chudlori
menjawab dengan menggunakan analogi. “Ada dua model pedagang toko dan tukang
klenteng. Para pemilik toko tidak perlu pergi kemana-mana untuk menjual
dagangannya, karena para pembeli akan mendatanginya, terutama jika barang yang
mereka jual menarik dan para pembelinya ingin memilikinya. Sebaliknya, tukang
klenteng mengumpulkan barang jualannya dari para pedagang lainnya dan kemudian
mereka pergi dari satu tempat ke tempat lainnya untuk menjual barang
dagangannya tersebut. Saya ditakdirkan menjadi kiai toko, bukan kiai klenteng.”
Selama beberapa tahun setelah
wafat ayahnya, Kiai Abdurrahman berusaha mewarisinya dengan memusatkan diri
mengajar para santri dan memimpin pesantren. Kiai Abdurrahman hanya memberikan
pengajian pada hari Senin dan tidak terlibat secara formal dalam kepengurusan
NU. Tapi pada tahun 1982, sekitar lima tahun setelah wafatnya Kiai Chudlori dia
mulai menerima undangan mengisi pengajian dari warga desa di luar Tegalrejo.
Kiai Abdurrahman mengatakan
kepada saya bahwa beliau mengambil keputusan untuk memperluas aktivitas setelah
berkonsultasi dengan mbah Raden Ahmad, kiai sebuah desa Pundun sekitar 17 km
sebelah tenggara Tegalrejo. Konon, kiai ini mampu menjalin hubungan dengan
orang yang sudah meninggal. Menurut Kiai Abdurrahman, ayahnya merestui peran
baru ini melalui perantaraan mbah Raden Ahmad. Sekarang Kiai Abdurrahman adalah
Rois Am Syuriah NU Cabang Kabupaten Magelang.
Keputusan Kiai Abdurrahman ini
juga bisa dijelaskan dengan cara lain. Pertama, dia menyadari bahwa sekarang
dapat berbagi tugas mengajar pesantren dengan adiknya, Muhammad dan dengan
demikian bebas melakukan aktivitas di luar. Kedua, karena desa yang mengundangnya
itu jaraknya dekat, tidak lebih dari satu jam perjalanan, sehingga bisa
memenuhi undangan itu tanpa harus meninggalkan pesantren sehari penuh.
Keputusan Kiai Abdurrahman untuk
bergabung dengan kepengurusan NU juga dipengaruhi oleh hasil keputusan Muktamar
NU di Situbondo, Jawa Timur pada bulan Desember 1984 yang menyatakan bahwa NU
secara formal meninggalkan politik praktis dan memutuskan hubungan dengan
Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dengan slogan baru “Kembali ke Khittah
1926” (NU sebagai organisasi sosial keagamaan bukan sebagai organisasi yang
terlibat dalam politik). NU secara formal meninggalkan politik praktis dan
melarang pengurus harian Partai Politik. Dengan terpaksa NU mengambil kebijakan
ini agar leluasa dalam menyebarkan ajaran Islam kepada semua orang tanpa
memandang aliansi politik mereka.
Pemilihan Abdurrahman sebagai
Rais Am Majlis Syuriah NU merupakan pengakuan para kiai lain di Magelang
terhadap kekiaiannya, sekalipun kepemimpinan NU secara formal tidak sama dengan
senioritas di bidang spiritual. Adik laki-lakinya, Muhammad, yang dikenal
dengan Pak Muh, lebih dikenal karena kedalaman spiritualitasnya sehingga
pengikutnya lebih banyak. Bagi orang-orang yang mencari petunjuk spiritual dan
pengobatan lebih baik menemui Pak Muh daripada Kiai Abdurrahman. Pak Muh dianggap
mempunyai berbagai kemampuan batin oleh orang yang menyebutnya sebagai seorang
wali.
Dari keterangan diatas dapat dilihat
bahwa kekuasaan dan prestise di Pesantren Tegalrejo dibagi antara Kiai
Abdurrahman dan Pak Muh. Kiai Abdurrahman memegang posisi formal kiai dan
pemimpin NU serta memberikan pengajian. Pak Muh menggunakan pengaruhnya melalui
kemampuan batik yang melekat pada dirinya. Kelompok-kelompok sasarannya jelas
kebanyakan orang kejawen. Dua fungsi itu diemban oleh satu orang yakni Kiai Chudlori.
Sekarang fungsi itu diemban oleh dua orang, Kiai Abdurrahman dan Pak Muh.
Meskipun Kiai Chudlori telah wafat, bayang-bayang spiritualnya masih menyatukan
putra-putranya.
Pesantren Tegalrejo dan Kesenian Jawa
Beberapa minggu sebelum khataman
tahun 1986, pamflet-pamflet ditempelkan di banyak tempat strategis di seluruh
Kabupaten Magelang. Pamflet ini menginformasikan pada masyarakat bahwa
Pesantren Tegalrejo akan menyelenggarakan pesta seni dan dakwah dari tanggal 19
hingga 21 April. Menurut pamflet tersebut akan dipertunjukkan berbagai kesenian
rakyat Jawa seperti wayang, ketoprak, reog, jatilan, campur, sorengan,
disamping film Indonesia, orkes dangdut dan pertunjukkan yang bernafaskan
keagamaan lainnya seperti badui, kubro dan samroh.
Kataman di Pesantren Tegalrejo
sebenarnya adalah pesta perpisahan bagi para santri yang sudah lulus dan akan
menduduki posisi sebagai kiai di desa mereka masing-masing dan bagi para santri
yang naik kelas. Dengan demikian, kataman merupakan bagian intrinsik agenda Pesantren
Tegalrejo. Keterlibatan beberapa kesenian rakyat Jawa dalam acara kataman,
sebagaimana diumumkan dalam pamflet, membangkitkan keinginan saya untuk
menelitinya, sehingga saya memperpanjang waktu penelitian lapangan di sana
untuk tujuan ini. Ketika ditanya mengenai keikutsertaan berbagai kesenian
rakyat Jawa dalam perayaan kataman, Kiai Abdurrahman mengatakan pada saya bahwa
beliau tidak tahu apa-apa mengenai pesta kesenian tersebut dan menyuruh saya
berbicara dengan Pak Muh. Berkali-kali saya berusaha mendiskusikan persoalan
tersebut dengan Pak Muh, tapi dia menolak. Melalui santri pelayannya, dia
menyampaikan pesan bahwa saya harus bertanya pada Kiai Abdurrahman atau
mengamati apa yang sedang terjadi. Ketika saya menceritakan hal ini kepada
Muhyidin, santri senior yang menjadi staf pengajar pesantren, mengatakan
“Jangan berharap anda bisa mewawancarai Pak Muh. Beliau bukan kiai biasa.
Bahkan saya sendiri tidak yakin dapat bertemu beliau sekali dalam satu tahun.
Tapi jangan khawatir. Dengarkan informasi yang anda inginkan!”
Tanpa disangka-sangka, baru
beberapa hari setelah itu, dalam sebuah pengajian yang saya hadiri, Pak Muh
menyampaikan informasi mengenai penyelenggaraan berbagai macam pertunjukkan
kesenian rakyat tersebut. Beliau menjelaskan:
Masih banyak orang yang heran
mengapa saya mengundang begitu banyak rombongan
jatilan untuk acara kataman. Ya, saya harus mengakui bahwa saya adalah kiai
jatilan. Tapi silahkan, lihat dalam kitab ini (Beliau menunjuk sebuah kitab
berbahasa Arab yang saya kira adalah Al-Hakim karangan Ibn ‘Atha’illah). Maksiat yang akhirnya menyebabkan orang orang menjadi taat jauh lebih baik dari taat yang dibarengi
dengan kesombongan akan menyebabkan seorang takabur. Bagi manusia,
takabur merupakan sifat yang buruk, tetapi bagi Tuhan yang Maha tak terbatas,
kesombongan merupakan salah satu sifat-Nya. Oleh karena itu, janganlah
sekali-kali pernah berharap bahwa hanya kita yang sekarang menjalankan salat
lima waktu dalam sehari ditakdirkan masuk surga. Mereka yang sekarang sedang
bermain jatilan pun mungkin juga ditakdirkan masuk surga, dan kita mungkin
dilemparkan ke dalam neraka, karena penuh dengan ketakaburan. Saya
ingin mengatakan kepada saudara mengenai persoalan ini. Jauh lebih baik mereka menggunakan uang untuk jatilan daripada untuk
taruhan. Selain itu, jika mereka bermain
di halaman pesantren, siapa tahu hati mereka akan lebih dekat dengan pesantren?
Tahukah saudara sekalian, bahwa kebanyakan pemain jatilan yang saya undang beberapa
tahun yang lalu sekarang menjadi santri? Oleh karena itu, jangan sekali-kali
mengecam orang lain, tetapi bedoalah kepada Allah. Semoga saudara-saudara kita
suatu hari kelak menjadi Muslim yang baik.
Ketika saya ceritakan kepada
Muhyidin mengenai isi pengajian tersebut, dia memberikan komentar, “Ingat apa
yang telah saya katakan pada anda? Akhirnya, Anda mendapatkan penjelasan
langsung dari Pak Muh. Sesungguhnya dia bukan sekedar kiai, tapi wali!” karena
pernyataan sering bersifat khiasan, maka Pak Muh diyakini oleh para santri dan
masyarakat desa sebagai seorang wali. Beberapa warga desa Kerekan, yang dengan
bangga menganggap diri mereka sebagai murid Pak Muh, menceritakan kepada saya
pengalaman mistik mereka dengan Pak Muh.
Suatu hari dua orang penduduk
desa Kerekan pergi menemui Pak Muh untuk mengundangnya mengisi pengajian.
Mereka disuguhi teh dan rokok. Kemudian pada hari itu juga kedua orang tersebut
membeli kupon undian lotre dan ditulisi angka 2 dan 4 (karena mereka berdua
disuguhi dua gelas teh dan empat batang rokok), sambil menganjurkan warga desa
yang lain untuk melakukan hal yang sama. Mereka memenangkan lotre. Dua hari
kemudian, dalam pengajian di desa Kerekan Pak Muh diberi hidangan makanan.
Tiba-tiba dia mengatakan, “Saya tahu hidangan ini meruapakan akibat dari teh
dan rokok yang saya suguhkan beberapa hari yang lalu, bukan?” Setiap orang yang
hadir dalam acara itu terkejut. Mungkin komentar Pak Muh itu hanya guyonan,
tapi mereka tangkap serius. Penduduk Kerekan kini meyakini bahwa Pak Muh
benar-benar seorang wali yang memiliki kemampuan membaca sesuatu yang
tersembunyi. Banyak sekali cerita semacam itu berkenaan dengan kemampuan mistik
Pak Muh, meskipun dia sendiri selalu menolak dipanggil kiai.
Berbeda dengan kakaknya, Pak Muh
tidak selalu diakui sebagai seorang kiai. Dia lebih sering memakai celana dan
kemeja daripada sarung dan peci, kadang-kadang memakai jeans. Rumah beliau
penuh dengan gambar wayang. Pada tembok depan dekat pintu masuk ada gambar
Werkudara yang besar, orang kedua dari lima ksatria Pandawa Lima (Bandung, Al-Maarif,
1988:91). Beliau juga mencintai kesenian Jawa. Kiai Thoyib, alumni senior
Pesantren Tegalrejo, bercerita kepada saya bahwa sejak kecil Pak Muh sudah
menunjukkan tindakan yang khariqul ‘adah. Ketika suatu hari Kiai
Chudlori menyuruh dia belajar membaca kitab, Pak Muh bertanya “Kitab apa yang
harus dipelajari”. Tanpa diduga-duga, Pak Muh mampu membaca kitab yang dimaksud
dengan lancar, meskipun sebelumnya beliau belum pernah mempelajarinya (Cerita
yang sama dapat ditemukan di mana-mana di seluruh Jawa. Tohir, putri pertama
Kyai Mangli, Grabag, juga diyakini mempunyai kemampuan membaca tanpa melalui
proses belajar tyang wajar). Sejak itu, Kiai Chudlori tidak pernah lagi
menyuruh dia mempelajari ini atau itu karena meyakini anaknya tersebut sudah
dikaruniai ilmu laduni. Bahkan Kiai Chudlori tidak berani mananyai Pak Muh,
meskipun tindakannya itu nyleneh, apalagi para santrinya.
Kiai Thoyib juga bercerita
kepada saya bahwa satu minggu sebelum wafat almarhum Kiai Chudlori memberi
pesan khusus berkenaan dengan Pak Muh. “Aku percayakan anakku padamu. Tapi
bersabarlah dalam mendidik anakku Muh itu, karena perkataan dan tindakannya
seringkali khariqul ‘adah. Kata-kata dan tindakannya mungkin sangat
nyleneh, tapi semuanya akan terbukti menjadi suatu yang bermanfaat atau isyarat
mengenai apa yang akan terjadi!” Kemudian Kiai Chudlori memberikan serban putih
kepada Kiai Thoyib yang dipahami sebagai barokah juga merupakan ungkapan agar
wasiat tersebut dilaksanakan.
Pada tahun 1978, satu tahun
setelah wafatnya Kiai Chudlori, Pak Muh mengundang banyak jatilan dan beberapa
pertunjukkan kesenian rakyat Jawa untuk ikut ambil bagian dalam kataman.
Masyarakat Tegalrejo dan sekitarnya sangat terkejut dengan tindakan ini. Bagi
para santri itu kejutan besar, karena mereka memandang pesta kesenian Jawa
merupakan aktivitas kalangan orang-orang kejawen yang dulu disponsori
orang-orang PKI dan PNI. Namun, tampaknya tak seorang pun mempertanyakan
keputusan Pak Muh ini.
Bagi orang kejawen, pesta ini
juga mengejutkan. Karto Peni, eks anggota PKI di Soroyudan yang sekarang
menjadi seorang santri membandingkan Pak Muh dengan Wali Sanga (Hasyim,
1985:24-28). Sujilan, eks aktivis PKI lainnya, menyebut Pak Muh sebagai seorang
kiai sejati dan bijak. Menarik sekali, reaksi dari para santri lainnya. Kiai
Thoyib bercerita pada saya bahwa segera setelah penyelenggaraan kataman tahun
1987, ada perdebatan sengit di kalangan para kiai di sekitar daerah itu
mengenai status pesta semacam itu menurut pandangan fiqh. Sebagian besar kiai
berpendapat bahwa perayaan semacam itu lebih banyak mendatangkan maksiat
daripada manfaat, karena pesta ini mengundang laki-laki dan perempuan bercampur
tanpa batas di waktu malam.
Tapi tak seorang pun mengajukan
persoalan ini kepada Pak Muh. Daripada menanyakan persoalan ini kepada Pak Muh
, beberapa kiai malah bertanya
kepada kiai Thoyib mengenai kesopanan menyelenggarakan pertunjukkan
dalam acara kataman. Dalam menanggapi persoalan ini, Kiai Thoyib mengutip kitab
Ihya ‘Ulum ad-Din karya Imam Ghazali: “Sebuah tahi lalat yang ada di wajah
seseorang akan membuat wajahnya menjadi cantik, tetapi wajah yang banyak
nodanya akan kelihatan jelek dan membuatnya menjadi lebih buruk.”
Segera menyusul festival tahun
1979, banyak permintaan kepada Pak Muh dari desa-desa kejawen agar beliau
memberikan pengajian di desa mereka. Bahkan masyarakat desa Cepoko dan Dompelan
meminta Pak Muh untuk membantu mendirikan masjid di desa mereka. Karena
pengaruh positif semacam itu, suara-suara menentang di kalangan kiai
menghilang. Sejak itu, kataman di Pesantren Tegalrejo dikenal luas bukan saja
sebagai acara keagamaan, tapi juga sebagai festival berbagai macam pertunjukkan
kesenian rakyat Jawa. Pada perayaan kataman bulan April 1986, ada satu
rombongan badui, kobra, samroh, dua kelompok wayang kulit, tiga grup ketoprak,
sepuluh rombongan jatilan, dua reog, lima campur dan lima sorengan, di samping
film Indonesia, band dan musik dangdut. Festival ini menjadi perayaan terbesar
di daerah Magelang. Aspek tak lazim dari perayaan ini adalah rombongan jatilan
dari Gandon dan Kwadaan yang mengikutsertakan penari-penari putri.
Kesenian rakyat Jawa semacam ini
tidak lazim dalam kerangkan perayaan di pesantren. Sebagaimana ditunjukkan oleh
Greetz (C.Greetz, The Religion. Op.Cit hlm 289-299), kesenian tersebut mereka
kaitkan dengan kelompok abangan. Namun, di Tegalrejo, pesantrenlah yang
dianggap sebagai pelindung kebudayaan rakyat Jawa. Oleh karena itu, bagi
desa-desa di sekitar Tegalrejo sudah menjadi kebiasaan masyarakat desa belajar
bermain jatilan di halaman langgar setelah menjalankan shalat Dzuhur
berjama’ah, sebagaimana terjadi ketika saya melakukan penelitian di desa
Sidorejo, Juli tahun 1987.
Mangku, seorang ketua rombongan
jatilan di Soroyudan, bercerita pada saya biasanya dia menetukan tarif Rp.10.000,-
untuk satu pertunjukkan kepada orang-orang yang mengundangnya. Tapi jika
rombongannya diundang oleh Pondok Pesantren Tegalrejo, dia dan teman-teman
penari jatilan sepakat untuk bermain tanpa bayaran. Karena Pak Muh yang
mendo’akan rombongan jatilan ini ketika dibentuk tahun 1983. Pesan Pak Muh,
“Bermainlah jatilan sesuka kamu, tapi janganlah kamu melupakan salat!” Mangku
merasakan bahwa rombongannya banyak ditanggap karena doa Pak Muh. Oleh karena
itu, bisa dipahami ketika ia mengatakan, “ Undangan untuk memeriahkan perayaan
pesantren membuat saya jauh lebih bahagia daripada dibayar beribu-ribu
rupiah!”. Kenyataan ini menunjukkan betapa harmonisnya hubungan antara
Pesantren Tegalrejo dengan masyarakat sekitar. Dan kehidupan seperti ini
memperlihatkan contoh yang jelas, batapa kelirunya memandang kebudayaan santri
sebagai sesuatu yang selalu bertentangan dengan kebudayaan Jawa asli
sebagaimana penelitian Greetz.
Kesimpulan
Tidak seperti anggapan umum
bahwa pesantren selalu didirikan oleh keturunan kiai, Pesantren Tegalrejo
didirikan oleh seorang priyayi yang membuat pesantren ini menjadi satu diantara
pesantren terbesar di Jawa Tengah. Pesantren ini didirikan di tengah-tengah
masyarakat penganut kejawen. Pesantren ini memainkan peran yang berarti dalam
proses santrinisasi daerah sekitar. Namun, untuk menjalankan peran tersebut,
Pesantren Tegalrejo berusaha lebih menerima budaya lokal ketimbang
menentangnya.
Secara umum Pesantren Tegalrejo
di samping dipandang sebagai pusat belajar agama Islam, juga menjadi pelindung
kebudayaan rakyat. Sebagian besar masyarakat sangat meyakini bahwa Kiai
Chudlori seorang sufi yang besar sehingga pengaruhnya dalam pesantren masih
tetap ada. Karena itulah, keberhasilan Kiai Abdurrahman menjalankan pesantren,
sebagian karena kharisma ayahnya, dan sebagian juga karena adiknya, Pak Muh,
wakil pengasuh pesantren. Banyak orang meyakini bahwa Pak Muh adalah wali—satu
keyakinan yang menjadi bagian penting dalam sistem keyakinan masayarakat Jawa
(Koentjoroningrat, 1985:319).
Dari catatan di atas kita dapat
melihat secara jelas bahwa Islam tradisional dengan beberapa keistimewaan sifat
mistiknya, sebagaimana ditunjukkan oleh Pesantren Tegalrejo, bukan sekedar
bersifat defensif vis-à-vis modernis (M.C.Ricklefs, 1979:123). Namun, Islam
tradisional masih menampilkan kekuatan dan kemampuan untuk memperkuat
pengaruhnya, khususnya di kalangan masayarakat Jawa pedesaan.